Dalam polemik nasab yang tengah hangat diperbincangkan, kita patut mencontoh sikap Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA. dalam pengambilan keputusan.
Pasalnya saat itu beliau bisa saja 'numpang momen' untuk menghajar balik para habib, mengingat kerasnya kritik dan sikap beberapa habib dulu menyerang beliau di panggung-panggung pengajian atau di forum lain saat masih menjabat Ketua Umum PBNU.
Bahkan pernah Kiai Said sampai "didatangkan" ke sebuah pesantren dan di sana beliau disidang oleh habib "besar" yang gayanya gagah itu. Padahal habib ini bukan pemilik pondok tersebut bukan juga pengasuhnya.
Tapi Kiai Said tidak seperti itu. Dia bukan sosok pendendam meski cacian dan hinaan membanjiri beliau. Alih-alih menyerang bahkan ketika beliau seperti diajak ke tengah polemik, ia seperti menarik diri. Ta'dhim saya untuk Kiai lulusan Lirboyo itu.
Zaman dulu sedikit sekali bahkan bisa disebut tidak ada yang mengoreksi habib sekonyol apapun pidato dan tingkah mereka. Tapi semenjak ada "tesis" Kiai Imad pelan-pelan mulai banyak yang berani. Dan begitu seharusnya pandangan dan sikap yg benar.
Sebagaimana yang di katakan KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais 'Aam PBNU, "Hormat ta'dhimmu kepada Ulama Bani Alawi yang berjasa besar kepada Islam dan umat Islam seharusnya tidak menghalangimu untuk ber-nahi munkar kepada oknum Bani Alawi yang menyimpang". Saya pribadi tidak sepakat dengan tesis kiai asal Banten itu (dalam hal ini Kiai Imad), tapi saya tetap sepakat bahwa siapapun jika keliru harus koreksi. Tidak boleh ada pembiaran hanya karena dia punya "darah yang bersambung". Dan 'Hakim' dalam Islam yang bisa memutuskan ini benar atau salah adalah ilmu bukan karena dia cucu nabi.
Dan teruntuk seluruh kader muda NU khususnya di kabupaten Ponorogo dalam hal ini adalah pelajar NU (IPNU & IPPNU), untuk menyikapi hal tersebut masyarakat perlu dibimbing agar dewasa dalam berpikir, bersikap dan bertindak sehingga tidak menggiring mereka untuk menolak semua Habib. Sebab masih banyak Habaib lain yang alim dan soleh yang bisa kita serap ilmunya dan meneladani akhlak terpujinya. Hanya oknum habib saja yang harus ditolak dengan cara yang tetap mengedepankan etika Islam.
Alangkah baiknya jika kita renungi salah satu bait di kitab Jauharatut Tauhîd karya al-Imam Ibrahim al-Laqani, yang sudah sering kita kaji terutama bagi yang pernah nyantri di pondok pesantren yang berbunyi :
فَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفْ ֍ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفْ
"Setiap kebaikan itu berada dalam mengikuti golongan Salaf, dan setiap kejelekan itu berada dalam bidah yang dimunculkan golongan Khalaf".
Patut untuk kita perhatikan, renungi dan ikuti para ulama panutan di negeri tercinta kita ini. Para Ulama terdahulu seperti KH. Hasyim Asy‘ari, Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Marzuki Dahlan Lirboyo, KH. Sulaiman Zuhdi Pandanasri Kertosono Nganjuk, Syekh Ihsan Jampes, Syaikh Muhammad bin Abdul Ghani al-Banjari, KH. Maimoen Zubair, KH. Hamid Pasuruan, dan ulama salaf lainnya. Beliau mengajarkan kita semua Agar tidak berlarut-larut dalam polemik apalagi polemik pemecah belah. Jangan sampai kita jatuh dalam adu domba antara mereka. Hal itu hanya membuat keadaan semakin memanas, hubungan erat umat Islam akan direnggangkan, persatuan bangsa Indonesia akan hancur berantakan. Cukuplah kita mengikuti para as-Salafus Shalih.
Andaikata saya pribadi ditanya bagaimana tanggapan saya soal kontroversi nasab ba'alawi maka jawaban saya kurang lebih hampir sama dengan KH Cep Herry Syarifuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim, Bogor. Setidaknya hal berikut sangat relevan untuk di gunakan :
1. Guruku mengajarkan bahwa jika diteliti, setiap wali itu pasti ada hubungan nasab dengan Rasulullah Saw.
2. Tetap hormati habaib karena nasabnya kepada Rasulullah Saw, namun jika ceramahnya atau akhlaknya ngaco, tidak usah diikuti. Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. (Khudz maa shofa wa da' maa kadaro).
3. Kemuliaan seseorang itu diukur dari ketaqwaannya, bukan nasabnya.
4. Pembela seseorang di hari kiamat adalah amalnya sendiri bukan nasabnya. Rasulullah Saw tidak bisa menolong keluarganya sendiri di hari kiamat jika mereka tidak bertaqwa.
5. Tetap berhusnudhon kepada siapapun khususnya soal ketersambungan nasab habaib kepada Rasulullah Saw. Karena Lebih baik Husnudzon yang salah daripada Su'udzon yang benar.
6. Jangan terpancing terhadap upaya untuk mengadu domba antara habaib dan kyai.
7. Tetaplah fokus kepada pembenahan diri dan tugas utama menebar manfaat kepada sesama.
Kalau sudah begini, harusnya polemik nasab selesai. Sudahlah kita kembali ke jalur ilmu, utul 'ilma darojat dan itu tidak ada pengecualian. Terus habaib kemudian menjadi auto product. Dan bagi Rekan Rekanita sekalian ini hendaklah untuk terus membentengi diri dengan ngaji, ngaji, dan ngaji. Karena belajar dan mengaji adalah jalan ninja yang sejati yang akan menyelamatkan kita sampai akhir hayat nanti. Pun ngaos nopo dereng?? Monggo Ngaos rumien..😊😊😊😊💚💚💚💚
Oleh : Fadhil Mubarok (Ketua PC IPNU Ponorogo 2023-2025)
Komentar