Alissa Wahid (nusurabaya.or.id) |
Jakarta, NU Online
Kericuhan di Rumah Tahanan Cabang Salemba di Mako
Brimob, Kelapa Dua, Depok pada 8 Mei 2018 mengakibatkan lima anggota kepolisian
meninggal. Selain evaluasi sistem keamanan dalam penjara serta penanganan
terhadap narapidana secara umum, peristiwa malam itu mengabarkan aksi teror
yang nyata sebab para napi teroris menguasai ruang tahanan sekitar 36 jam.
Hasil otopsi dokter Forensik Rumah Sakit Polri Kramat
Jati Jakarta Timur menunjukkan kelima anggota kepolisian yang meninggal dunia
menderita luka akibat senjata tajam pada sekujur tubuh.
Kericuhan malam itu ternyata menjadi preseden
buruk. Pada Kamis malam, 10 Mei 2018, anggota Intel Brimob, Kepala Dua Depok,
Brigadir Kepala Marhum Prenctje tewas setelah menjadi korban penusukan yang
dilakukan seseorang tidak dikenal.
Tindak teror berlanjut. Pada Sabtu, 12 Mei 2018,
Mabes Polri mengamankan dua remaja perempuan yang diduga akan melakukan aksi
amaliah penusukan terhadap anggota Brimob di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Barang bukti yang ditemukan termasuk senjata tajam.
Hari ini Ahad, 13 Mei 2018, aksi bom bunuh diri
meledak di tiga gereja di Surabaya. Tiga gereja tersebut adalah Gereja Santa
Maria di Ngagel, GKI Jalan Diponegoro dan GPPS Jalan Arjuno. Serangan
ditengarai juga terjadi di gereja lain, namun dapat digagalkan.
Tindak kekerasan dan aksi terorisme adalah hal yang
dikutuk oleh semua agama dan kemanusiaan. Kitab Suci Al-Qur’an, misalnya, tegas
melarang kekejian aksi terorisme di rumah ibadah (QS Al-Hajj:40).
At Thabari dalam Jami al Bayan fi Tafsir ayat Min
Ayil Qur'an menafsirkan ayat tersebut sebagai, “Siapa lagi
orang yang lebih ingkar kepada Allah dan menyalahi segala aturannya selain dari
orang yang menghalang-halangi disebutnya Nama-Nya di tempat-tempat peribadatan
dan berusaha menghancurkannya”.
“Melalui pandangan ini, jelaslah bahwa At-Tahabari
mengategorikan orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai
orang yang paling ingkar terhadap eksistensi Allah,” ujar Koordinator Nasional
Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, Ahad (13/5) dalam keterangan tertulisnya.
Dalam konteks keIndonesiaan, tindakan teror di
rumah ibadah minoritas menjadi lebih berbahaya, karena dampak jangka panjang di
tingkat masyarakat. Tragedi kekerasan mengakibatkan renggangnya tali berbangsa
yang yang susah payah direkatkan, menguatnya sikap saling membenci dan
mencurigai, serta trauma yang dalam bahkan untuk melaksanakan hak konstitusi
paling dasar: menjalankan ritual agama di rumah ibadah masing-masing.
“Sel-sel tidur terorisme memaksa seseorang
mencurigai orang dan kelompok lain juga akan makin menguat. Di media sosial,
masyarakat yang marah mulai menyarankan aparat untuk menindak lewat tindakan
kekerasan sesegera mungkin pula,” jelas Alissa.
Terkait serangkaian aksi teror yang terjadi di Mako
Brimob dan ledakan bom di tiga Gereja di Surabaya, Jaringan Gusdurian Indonesia
bersikap sebagai berikut:
1. Mengutuk
aksi teror yang terjadi dalam beberapa hari ini, dan berduka mendalam atas
jatuhnya belasan korban jiwa serta korban luka-luka.
2. Meminta
Kepolisian RI untuk menemukan dan menindak tegas otak aksi teror, bukan hanya
pelakunya beberapa hari ini.
3. Meminta
Pemerintah, khususnya Kepolisian untuk memperkuat perlindungan hak
konstitusional warga negara dalam segala bentuknya, secara spesifik saat ini
adalah hak untuk beribadah dan berkeyakinan.
4. Meminta
Pemerintah untuk mewaspadai menguatnya gerakan pelemahan kedaulatan bangsa di
Indonesia, melalui berbagai aksi peningkatan kebencian antar kelompok dan aksi
teror nyata.
5. Meminta
Pemerintah untuk mewaspadai gerakan kelompok ISIS yang mulai menghidupkan lagi
propaganda untuk Asia Tenggara, serta menguatnya modus teror gaya baru berupa
serangan bom bunuh diri tunggal (lone wolves).
6. Meminta
Kementerian dan Lembaga yang berwenang untuk mengakselerasi respon yang memadai
terkait perkembangan ideologi dan paham yang semakin menyuburkan kebencian
antar kelompok, terutama atas nama agama. Kebencian ini memudahkan perekrutan
pelaku aksi teror.
7.
Meminta masyarakat untuk tetap waspada dan tenang
atas tindakan teror dan tindakan
kekerasan, serta tidak terpancing untuk membalas tindakan tersebut dengan
ujaran atau aksi yang memanfaatkan sentimen warga bangsa.
8.Meminta
warga bangsa untuk bersama-sama memperkuat kehidupan bermasyarakat yang rukun
dan saling menjaga sehingga ideologi kebencian dan terorisme tidak mendapat
pendukungnya.
Memperjuangkan kehidupan berbangsa yang aman dan
damai adalah mutlak untuk mewujudkan bangsa yang besar, adil dan makmur. Segala
ancaman atas keamanan dan kedamaian ini adalah ancaman atas kedaulatan bangsa.
Sudah selayaknya, setiap elemen bangsa dan Negara
berkontribusi dan menjaganya dari hal-hal yang akan mengoyak bangunan
kebangsaan kita. (Red: Fathoni)
Berita
diambil dari:
0 Komentar