Orang
tuaku memberi nama Sinta padaku saat umur 0 bulan. Aku dikarunia dua tangan
yang sehat dan dua kaki yang cacat.
Semakin aku tumbuh besar semakin aku bisa merasakan sakit yang teramat dalam.
Entah sampai kapan aku terbujur diatas ranjang dan entah aku akan sehat atau
berangkat dalam umurku yang terbilang masih remaja, 15 tahun. Aku sangat
bersyukur pada Tuhan telah memberiku dua mata dan dua telinga sehat untukku.
Sehingga aku bisa melihat dan mendengar
perhatian orang yang peduli dengan ku, “Kak Rin”. Sepatah terimakasih puntak
mampu kuucapkan untuknya, karena aku bisu.
***
Dia
menjadi tuhan dalam dunianya.Menentukan sesuatu sesuai keinginannya.Menggelar
panggung pertunjukan di otaknya.Menjadi penulis skenario sekaligus sutradara
yang handal dan tak bisa ditentang.Melihat realita yang ada menjadi referensi
cerita selanjutnya.Dia terkadang menjadi pemain utama ataumenjadi figuran atau
hanya menjadi tokoh ketiga yang ditiadakan.
Duduk
dibalik jendela yang tertutup embun.Matanya lihai melihat kehidupan yang tampak
dari jendela itu.Lima belas menit kemudian, dia membuka buku tebal
dihadapannya.Menggoreskan tetes mangsi
didepannya. Dan kembali terdiam, diamnya tak hanya membatu, tapi terlihat sedang
berkomunikasi dengan alam dan benda mati disekitarnya.Lalu menceritakannya
kembali dalam buku tebal itu.Hingga terik matahari masuk tanpa permisi di ruas
jendela.Mengabarkan waktu untuk bermunajat kepada-Nya telah datang.Suatu momen
yang membuat hatinya tenang.Lebih tenang daripada duduk di balik jendela
kesukaannya.Setelah usai, dia tak pernah meninggalkan lantunan kalam-kalam
Tuhan.Membacakannya di sampingku.Dia berkata, “ Agar fikirannku bersih, kerena
aku ingin menceritakan kebesaran Tuhan-ku dalam ceritaku”.Aku tersenyum dan dia
mengecup keningku.
Dia
kembali duduk di singgasana kebanggaannya.Mengatur tokoh, watak, setting,
hingga amanat yang ingin dia sampaikan.Cukuplama dia terdiam.Sejenak menyeruput
teh susu kesukaannya yang terlihat masih panas.Lalu kembali menulis cerita
selanjutnya.Membalik lembar demi lembar yang runtut dengan huruf-huruf yang
berbaris rapi.Dia kadang terlihat tersenyum.Sejurus kemudian, wajahnya terlihat
muram.Sesekali, dia juga terlihat bermain jari.Memainkan suara yang dihasilkandari
tekukan jarinya.Berimajinasi atau sekedar menghibur diri. Lagu berirama indah
nan syahdu tak lupa diputar, terkadang dia juga suka memutar murottal dari
hpnya.
Skenario
cerita yang dibuatnya belum usai. Dia kembali membuka kalam-kalam mulia dalamjilid
panutan umat muhammad. Disampingku.Mengaktifkan pikiranku yang penat.
Menerjemahkan apa yang dilihat mata
dengan nada. Mencoba meresapi, menggapai ridho-Nya.Cukup lamadia membaca mushaf
itu.Hingga gelombang lantunan pertanda asar merambat ke telingaku.Dia bergegas
mengambil mukena yang tersampir tak jauh dariku. Kata nenekku, “ Jika kamu
ingin melihat seperti apa ibumu, lihatlah kakak mu yang sedang pakai mukena,
mirip sekali”, katanya dulu sebelum pergi meninggalkanku dan menyusul ibu.
Aku
menjadi pengamat yangtak bisa berobservasi. Berbaring dan hanya dapat melihat
dalam ruang yang takada perubahan samasekali. Dia yang selalu
menghiburku.Membacakan alquan atau bercerita tentang kehidupanhasil
imajinasinya.Dia memang hebat.Cerpennya beberapa kali menjuarai ajang
bergengsidi pondoknya dulu.Menjadi terkenal dikalangan santri putri maupun
putra sebagai artis pengisi majalah dinding dengancerita-cerita juaranya.Itu
secuil kisah yang ku tau darinya.Dan sekarang dia lebih hebat lagi, dia sering
di undang menjadi narasumber dalam acara-acara seminar, maupun pengisi kelas
menulis di kotaku. Karyanyasetiap pekan di koran menjadi idola untuk dibaca.
Piala dan Sertifikat juara menjadi pajangan yang menawan di sudut rumah kami.
Dia
kembali duduk di singgasananya setelah bermunajat asar.Menyelesaikan skenario
yang dia buat.Terlihat dari tempaku berbaring, dia memakan roti yang tak habis
disuapkannya padaku tadi.Tak lama kemudian kentongan masjid berbunyi dan adzan
dikumandangakan.Dia menutup buku itu.Dan kembali ke peraduan. Mengadu pada Sang
Pencipta, mendoakan untuk kesembuhanku dan keberkahan hidup kami. Meminta kasih
sayang Tuhan.Hingga malam larut seperti tak dirasakannya.Dia tetap duduk
bersimpuh menghadap Tuhannya dalam kesyahduan lantunan ayat-ayat suci alquran.
Dan setelah itu, tak ada agenda lain kecuali dudukdi kursi imajinasinya. Tak
membuka buku tebal itu lagi.Kini jarinya menari dengan lincah diatas panggung
ketik.Hingga aku larut dalam peluh jarinya.Dan terlelap.
Kullu
nafsin dzaaiqotul maut… Ayat itu yang ku dengar pertama
kali di pagi buta ini.Dia tampak menangis tersedu-sedu, meresapi makna ayat
itu.Dan aku hanya mampu melihatnya.Aku memang lemah,dan aku tak dapat
menghiburmu.Tubuhku kaku, yang bisa ku lakukan hanya berkedip,
mengangguk,tersenyum dan sesekali ku gerakkan tanganku.Tak lama kemudian, dia
menutup mushaf itu dan menghampiriku.Menyuapiku dan memberiku obat yang biasa
aku minum di pagi hari. “Doakan kakak, hari ini kakak akan mengirim cerpen, ke
kantor pos,”katanya. Aku hanya bisa mengiyakan dengan anggukan.Wajahnya
terlihat anggun dengan balutan lipstick nude di bibirnya dan jilbab merah
mudaitu.Diamengelap sisa makanan yang menempel di mulutku lalu tersenyum,
mengucap salam sambil berlalu dariku.
***
Aku
menutup ingatanku tentangnya.Dia memang kakak yang baik.Mengurusku menggantikan
ke dua orang tuaku yang telah lama meninggal.Tapi, dia pergi tanpa kabar
setelah berpamitan dengan ku sebulan yang lalu.Untuk pergi kekantor pos.
Setelah itu,dia tak pernah menyuapiku atau menghiburku dengan jenakannya
–mungkin dia melupakanku-.Sekarang hanya Lie -tetangga danjuga sepupuku- yang
peduli denganku.Walau, terkadang Lie bersikap kasar dan memaksaku menurutinya
untuk meminum ramuan konyol itu.Yang membuat tubuhku semakin sakit.
Genap
empat puluh kali adzan maghrib itu terdengar di telingaku. Kemana kakak?.Apa
dia sudah lupa dengan ku, keluarga dekat yang satu-satunya dia miliki. Empat
puluh hari sudah dia meninggalkan rumah.Dan Lie tak pernah cerita tentang kakak
padaku.Aku berisyarat pada Lie, bertanya kabar kakak kepadanya.Tapi dia tak
faham dengan isyaratku.Aku marah padanya, aku tak makan suapanya.Tak
memandangnya, bahkan, aku menampik makanan yang dibawakannya untukku.Dan dia
malah balik memarahiku. Dia terkadang juga memukulku, entah salah apaaku.
Dalam
tidur malamku, aku teringat dengan ayat yang menyambut pagi terakhirku bersama
kakak.Dalam bayang gelap gulita.Aku seperti tersedak sangat dahsyat.Tubuhku tak
seperti biasanya, aku bisa berdiri dan aku sembuh dari penyakitku.Beberapa
menit kemudian hanya bayang putih yang tampak.Terlihat dari kejauhan kakak
melambai kepadaku.Aku berlari dengan riang, menyambut kepulangannya.Aku
memeluknya dengan pelukan yang erat.Setelah itu, aku bersamanya masuk kedalam
rumah dan menikmati hidangan makanan yang lezat dan dia menyuapiku.Kita duduk
bersandingan dan dia menghiburku dengan ledekan lucunya.
Teryata
itu semua hanya mimpi. Lie yang membangunkanku. Dia menangis.Lalu membopongku
duduk di kursi roda baru.Yang dibelikannya untukku.Aku mulai bisa
tersenyum,bisa melihat dunia luar lagi.Aku menyentuh tangan Lie, dan dia balik
tersenyum padaku.Pintu kamar sudah ku lewati, aku melihat kursi dan meja makan
yang sempat terlintas dimimpiku tadi. Suasana hatiku tiba-tiba berubah, rasa
senang karena akan melihat dunia luar itu berubah menjadi rasa
penasaran.Terdengar jelas banyak suarabersautan, ada yang menangis, ada yang
sedang berdoa.Aku mulai memasuki ruang yang penuh orang itu dan melihat tubuh
orang yang sangat ku kenali terbaring lemah dengan tertutup kain batik. Lie
berkata, “Itu kakakmu”. Semua orang yang hadir melihat kearahku dengan wajah
iba.Bu Sur –ibunya Lie- langsung memelukku “kamu yang sabar, kamu pasti kuat”,
katanya.
Kini
Tuhan menceritakan akhir kehidupannya, dan aku masih tetap disini, dirumah ini
dan menjadi pengamat kehidupannya dengan segudang cerita kebesaranmu tentang
Tuhan.
Editor : triono
1 Komentar