Berbicara mengenai kata Tafsir Nusantara, maka yang muncul
dipikiran dan angan-angan kita pasti mengenai tafsir teks al-Qur’an yang sesuai
dengan konteks keadaan budaya masyarakat di nusantara. Dalam refleksi kali ini,
penulis terfokus tentang permasalahan apakah dipeprbolehkan al-Qur’an
ditafsirkan sesuai dengan budaya Nusantara, yang dimana ada beberapa ulama,
khususnya di Indonesia menolak tentang konsep Tafsir Nusantara.
Dalam proses penyebaran agama islam di Nusantara menggunakan kebudayaan
Nusantara sebagai prasarana dalam mempermudah dakwah para Wali Songo saat itu.
Maksudnya, para Wali Songo mengimplementasikan ajaran islam dalam kebudayaan
Nusantara. Misalnya, sesorang Kanjeng Sunan Kalijaga menggunakan kebudayaan
jawa yaitu pagelaran Wayang kulit. Sunan Kalijaga memasukkan ajaran-ajaran
islam dalam proses pagelaran Wayang Kulit berlangsung. Sehingga, rakyat di
Nusantara menerima ajaran islam dengan mudah dan tanpa menggunakan kekerasan.
Sama halnya dengan penafsiran al-Qur’an, para penafsir al-Qur’an di Nusantara
juga menggunakan konteks budaya dalam menafsirkan atau menjelaskan isi
al-Qur’an agar sesuai dengan konteks tradisi maupun budaya rakyat Nusantara. Oleh
karena, sudah menjadi hal yang sangat wajar apabila pada masing-masing wilayah
dalam penafsiran al-Qur’an ditemukan perbedaan dalam penafsiran. Karena mereka
mempunyai seudut pandang masing-masing tentang al-Qur’an, dari segi budaya,
ekonomi, politik maupun sosial.
Penafsir pertama dalam dunia islam pertama kali adalah Nabi
Muhammad SAW. melalui hadist serta ijtihad beliau. Pada masa Nabi belum ada
perbedaan serta permasalahn dalam konteks penafsiran al-Qur’an. Karena wilayah
kekuasaan islam masih dalam satu lingkup yaitu Jazirah Arab, serta Nabni
Muhammad masih menjadi pemilik otoritas
penafsiran teks al-Qur’an. Setelah wafatnya beliau tepatnya setelah kekuasaan
Khulafaur Rasyidin berakhir, islam pecah menjadi 3 bagian yaitu kelompok
Mu’tazilah, syiah serta Khawarrij. Mulai dari sinilah masing-masing dari
kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menafsirkan teks
al-Qur’an. Setelah melewati kurun waktu yang lama, banyak bermunculan
kelompok/madzab yang mengakibatkan perbedaan pandangan yang salah satunya
penafsiran terhadap teks al-Qur’an karena perbedaan sudut pandang serta
kebudayaaan. Sehingga munculnya model-model tafsir yang beragam. Seperti Tafsir
Isyari, Tafsir Lughowi, Tafsir Sufi dan lainnya sebagainya. Begitu pula di
Nusantara, karena sudut pandang serta perbedaan letak geografis, kondisi
sosial, maupun keadaan politik. Dalam memperkuat argumen tentang kebenaran dari
Tafsir Nusantara, penulis mengambil teori Relativitas Penafsiran Al-Qur’an milik
Nasr Hamid Abu Zayd. Beliau adalah seorang pembaharu islam dengan pemikirannya
tentang Inter[retasi Teks Al-Qur’an.
Nasr Hamid mengklarifikasi turunnya teks al-Qur’an melalui 2 tahap.
Pertama, tahap wahyu/kalam. Yaitu turunnya al-Qur’an secara vertikal
dari Allah kepada malaikat jibril. Kedua, tahap wahyu/kalam. Yaitu
penyampaian wahyu oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad. Dalam tahap pertama al-Qur’an belum berbentuk
teks, tidak bersuara serta tidak dapat di indra. Pada tahap kedua malaikat
jibril menyampaikan wahyu al-Qur’an melalui dimensi Muhammad yaitu di dimenssi
manusia agar dapat diterima dengan baik oleh beliau.
Setelah kedua proses tersebut selesai, mulailah Nabi Muhammad
menjelaskan teks al-Qur’an kepada umatnya dengan konteks kebudayaan pada saat
itu, yaitu kebudayaan arab. Karena teks al-Qur’an yang berbahasa arab Quraisy
disampaikan kepada masyarakat madinah,
tidak akan mudah dipahami apabila dijelaskan dengan mutlak dalam bahasa arab
Quraisy. tentunya, untuk memahamkan isi al-Qur’an harus dijelaskan dengan
bahasa arab madinah. Sehingga muncul yang namanya Tafsir Madinah. Begitu pula, di
Negara-negara lainnya, penafsiran para mufassir Negara Iran akan terjadi
perbedaan dengan penafsiran di Nusantara karena perbedaan sudut pandang serta
interpretasi bahasa, kondisi sosial serta kebudayaan. Dalam menafsirkan
al-Qur’an memang harus disesuaikan dengan konteks dimana al-Qur’an itu
berkembang untuk memudahkan pemahaman masyarakat dalam mempelajari
al-Qur’an, agar teks Al-Qur’an tersebut
dapat hidup berdampingan dengan kebudayaan masyarakat dan dapat menjadi pedoman
hidup mrka.Sehingga penafsiran-penafsiran terhadap teks al-Qur’an bersifat
relatif/bisa beruba-rubah kebenarannya. Pendapat Nasr Hamid tentang Relativitas
Pnafsiran al—Qur’an ini juga disetujui oleh mufassir Nusantara yaitu Quraisy
Syihab, beliau juga memiliki pendapat bahwa penafsiran teks al-Qur’an tidaklah
absolut kebenarannya. Sehingga, interpretasi teks al-Qur’an akan selalu
berkembang dan teus dilakukan oleh para musfassir hingga akhir zaman.
Hamdani Fikri. 2016. Teori Interpretasi Nasr
Hamid Abu Zayd. Farabi. 12(1)
0 Komentar