Penulis
mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali tentang pemahaman Islam mengenai keadilan
gender yang disalah pahami dengan melegitimasi ayat-ayat aL-Qur’an. Dengan pemahaman
tersebut Islam diproyeksikan seolah-olah buta terhadap gender, menempatkan perempuan
menjadi manusia kelas dua setelah laki-laki dan mendiskriminasi peran perempuan.
Hal itu tentunya sangat bertentangan dengan prinsip awal Islam dalam mewujudkan
keadilan sosial.
Tokoh agama sekaligus aktivis yang berkonsentrasi
dibidang feminis yaitu KH Husein Muhammad mengatakan bahwa tersubordinasinya perempuan
juga terlahir dari pemahaman agama dan ayat-ayat aL-Qur’an secara patriarkal. Perempuan
sudah terlanjur didoktrin sejak lahir atau bahkan tak sedikit pesantren yang mengatakan
peran perempuan di wilayah domestik meruapakan sebuah kodrat (Given).
Pemahaman ayat aL-Qur’an yang lahir dari
mind side patriarki sehingga menjadikan perempuan tersubordinasi, tentunya
sangatlah bertentangan dengan pemahaman ayat aL-Qur’an yang penulis pahami. Dalam
surat Al-Hujarat ayat 13:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam teks ayat ini KH Husein Mumammad
mengatakan bahwa yang penting digaris bawahi tentang ayat tersebut adalah kalimat
“Lita’arafu” yang memiliki kandungan makna universal yaitu saling mengenal,
saling menghargai dan saling memahami. Kemudian dilanjutkan dengan bunyi “Inna
akromakum ngindallahi adtdkookum” bahwa yang paling mulia disisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa. Pada intinya teks tersebut menjelaskan bahwa manusia
baik perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama atau setara, yang membedakan
dari kaum laki-laki dan perempuan adalah ketakwaanya kepada Allah Swt. Maka sesama
manusia baik laki-laki dan perempuan harus saling memahami dan menghargai. Kemudian
makna dari “Bertaqwa” juga memiliki difinisi memanusiakan manusia, maka belum bisa dikatakan
bertaqwa kalau tidak memanusiakan manusia (Saling menghargai.Red).
Mungkin pembaca juga bertanya bagaimana
teks ayat yang cenderung mengunggulkan laki-laki dari pada peremuan? Seperti teks
dari surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi “Arijaalu qouwamuuna ala Nisaa..,”
KH Husein Muhammad memiliki pandangan bahwa ayat tersebut merupakan ayat yang bersifat
kontekstual. Secara spesifiknya ayat tersebut tidak bisa dipakai bagi perempuan
yang hendak menunjukan eksistensinya untuk berkreasi dan berinovasi. Terutama untuk
memimpin suatu institusi, organisasi maupun negara yang notabenenya yang dipimpin
ada laki-laki di dalamnya.
Konteks
dalam teks ayat tersebut adalah mengenai hubungan suami istri, ketika Zainab binti
Zaid tidak mau berhubungan suami istri, kemudian suaminya memukulnya, Zainab binti
Zaid tidak terima lalu mengadukannya kepada nabi Muhammad Saw yang kemudian turunlah
ayat tersebut. Ulama-ulama kontemporer seperti Prof. Dr Quraish Sihab juga berpendpat
bahwa ma’na Ar-rijalu dan An-Nisa dalam ayat tersebut bukan bermakna
jenis kelamin, tetapi makna gender atau sifat yang berarti Ar-rijalu bukan
bermakna laki-laki tetapi bermakna maskulin sedangkan An-Nisa bermakna Feminin.
Jadi kandungan ayat tersebut memiliki makna bahwa 'Rijal' sebagai sifat yang
kuat, yang mampu melindungi, mengayomi, memberikan pendidikan baik laki-laki maupun
perempuan.
Jadi aneh
sekali kalau melarang perempuan menjadi pemimpin dengan alasan bahwa “laki-laki
adalah pemimpin bagi perempuan.” Kemudian menjadikan surat An-Nisa ayat 34 legitimasi
untuk membenarkan pendapatnya. Ada juga sebagian kelompok yang mengatas namakan
Islam, tetapi seolah-olah mereka menjadi agen patriarki yang menyuarakan
Indonesia tanpa feminis. Padahal kalau difahami lagi prinsip feminis mempunyai kesamaan
dengan ajaran Islam yaitu menegakkan keadilan dan kesetaraan terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Dari paparan
ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa aL-Qur’an mendudukan laki-laki dan
perempuan dengan setara dan adil. Tidak ada pemahaman Islam yang bersifat mendomestifikasi
perempuan, yang menuntut perempuan hanya hidup di wilayah privat saja. Kemudian
kalaupun toh perempuan terdomestifikasi, secara tidak langsung perempuan akan sulit
mengerti kehidupan dunia luar, tidak bisa berinovasi dan berkereasi, sehingga mengantarkan
perempuan ke jurang kebodohan.
Penulis: Syamsulhadi
0 Komentar