Mengikis Pemahaman Patriarkal Terhadap Ayat-ayat AL-Qur’an

           


Islam merupakan agama yang mempunyai prinsip keadilan. Dengan adanya prinsip tersebut maka Islam menempatkan diri sebagai wadah untuk mengelaborasikan tatanan sosial yang menguntungkan satu sama lain, baik manusia, hewan, binatang dan tumbuhan. Penulis mengkrucutkan lagi tentang prinsip kemanusian, ketika nabi Muhammad Saw membawa risalah Islam mempunyai misi utama ialah menata dan merapikan kembali tatanan sosial yang timpang. Terlebih lagi ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, yang mana perempuan pada saat itu mengalami diskriminasi yang sangat hebat. Perempuan pada waktu itu dibunuh, diperkosa dan dijadikan seolah-olah perempuan bukan manusia yang berarti. Saya kira pembaca sudah mengerti melalui kajian, diskusi dan mata pelajaran madrasah tentang keadaan perempuan pada masa itu.

Titik fokus yang akan penulis bahas adalah, apakah Islam sudah selesai memberikan porsi perempuan dan laki-laki dengan setara? Menimbang praktik-praktik sosial yang cenderung mensuperioritaskan laki-laki dan menginferoritaskan perempuan. Seperti salah satu dogma agama yang mengatakan “Laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan,” sehingga mengantarkan pemahaman bahwa perempuan ditakdirkan untuk menjadi ma’mum bagi kaum laki-laki. Kemudian peran perampuan menjadi terdomestifikasi yang hanya menjalani aktivitas di wilayah privat saja, seperti dapur, kasur dan hanya dituntut untuk menjadi perempuan yang solihah dengan cara menuruti apa kata suami. Apakah sesempit itu peran perempuan dari kacamata Islam?

Penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali tentang pemahaman Islam mengenai keadilan gender yang disalah pahami dengan melegitimasi ayat-ayat aL-Qur’an. Dengan pemahaman tersebut Islam diproyeksikan seolah-olah buta terhadap gender, menempatkan perempuan menjadi manusia kelas dua setelah laki-laki dan mendiskriminasi peran perempuan. Hal itu tentunya sangat bertentangan dengan prinsip awal Islam dalam mewujudkan keadilan sosial.

            Tokoh agama sekaligus aktivis yang berkonsentrasi dibidang feminis yaitu KH Husein Muhammad mengatakan bahwa tersubordinasinya perempuan juga terlahir dari pemahaman agama dan ayat-ayat aL-Qur’an secara patriarkal. Perempuan sudah terlanjur didoktrin sejak lahir atau bahkan tak sedikit pesantren yang mengatakan peran perempuan di wilayah domestik meruapakan sebuah kodrat (Given).

            Pemahaman ayat aL-Qur’an yang lahir dari mind side patriarki sehingga menjadikan perempuan tersubordinasi, tentunya sangatlah bertentangan dengan pemahaman ayat aL-Qur’an yang penulis pahami. Dalam surat Al-Hujarat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

            Dalam teks ayat ini KH Husein Mumammad mengatakan bahwa yang penting digaris bawahi tentang ayat tersebut adalah kalimat “Lita’arafu” yang memiliki kandungan makna universal yaitu saling mengenal, saling menghargai dan saling memahami. Kemudian dilanjutkan dengan bunyi “Inna akromakum ngindallahi adtdkookum” bahwa yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Pada intinya teks tersebut menjelaskan bahwa manusia baik perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama atau setara, yang membedakan dari kaum laki-laki dan perempuan adalah ketakwaanya kepada Allah Swt. Maka sesama manusia baik laki-laki dan perempuan harus saling memahami dan menghargai. Kemudian makna dari “Bertaqwa” juga memiliki difinisi memanusiakan manusia, maka belum bisa dikatakan bertaqwa kalau tidak memanusiakan manusia (Saling menghargai.Red).

            Mungkin pembaca juga bertanya bagaimana teks ayat yang cenderung mengunggulkan laki-laki dari pada peremuan? Seperti teks dari surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi “Arijaalu qouwamuuna ala Nisaa..,” KH Husein Muhammad memiliki pandangan bahwa ayat tersebut merupakan ayat yang bersifat kontekstual. Secara spesifiknya ayat tersebut tidak bisa dipakai bagi perempuan yang hendak menunjukan eksistensinya untuk berkreasi dan berinovasi. Terutama untuk memimpin suatu institusi, organisasi maupun negara yang notabenenya yang dipimpin ada laki-laki di dalamnya.

Konteks dalam teks ayat tersebut adalah mengenai hubungan suami istri, ketika Zainab binti Zaid tidak mau berhubungan suami istri, kemudian suaminya memukulnya, Zainab binti Zaid tidak terima lalu mengadukannya kepada nabi Muhammad Saw yang kemudian turunlah ayat tersebut. Ulama-ulama kontemporer seperti Prof. Dr Quraish Sihab juga berpendpat bahwa ma’na Ar-rijalu dan An-Nisa dalam ayat tersebut bukan bermakna jenis kelamin, tetapi makna gender atau sifat yang berarti Ar-rijalu bukan bermakna laki-laki tetapi bermakna maskulin sedangkan An-Nisa bermakna Feminin. Jadi kandungan ayat tersebut memiliki makna bahwa 'Rijal' sebagai sifat yang kuat, yang mampu melindungi, mengayomi, memberikan pendidikan baik laki-laki maupun perempuan.

Jadi aneh sekali kalau melarang perempuan menjadi pemimpin dengan alasan bahwa “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.” Kemudian menjadikan surat An-Nisa ayat 34 legitimasi untuk membenarkan pendapatnya. Ada juga sebagian kelompok yang mengatas namakan Islam, tetapi seolah-olah mereka menjadi agen patriarki yang menyuarakan Indonesia tanpa feminis. Padahal kalau difahami lagi prinsip feminis mempunyai kesamaan dengan ajaran Islam yaitu menegakkan keadilan dan kesetaraan terhadap laki-laki maupun perempuan.

Dari paparan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa aL-Qur’an mendudukan laki-laki dan perempuan dengan setara dan adil. Tidak ada pemahaman Islam yang bersifat mendomestifikasi perempuan, yang menuntut perempuan hanya hidup di wilayah privat saja. Kemudian kalaupun toh perempuan terdomestifikasi, secara tidak langsung perempuan akan sulit mengerti kehidupan dunia luar, tidak bisa berinovasi dan berkereasi, sehingga mengantarkan perempuan ke jurang kebodohan.

 
Penulis:
Syamsulhadi 

Komentar