Pentigraf Vol. 2 : Amar Kyai

 

Ilustrasi gambar mushola(foto:MCPNU/Arisel)

Aku datang lagi di desa  tua ini saat pohon-pohon pinggir jalan yang dulu aku lewati ketika berangkat sekolah telah menguning dan berguguran. Langkahku ini bukan kesekian kalinya ataupun kedua kalinya setelah aku pergi. Langkahku yang tak pasti yang membawaku kembali. Tak jauh dari guguran daun itu aku melihat bangunan biru muda yang sudah terbengkalai tak ada muridnya. Ya.. Sekolah Dasar yang pernah menjadi tempat belajar dan bermainku dulu, kini sudah sepi bahkan mati. Karena  masyarakat desa ini sudah turun ke bawah, mencari tempat yang lebih ramai dari desa di lereng gunung ini, termasuk aku.


Aku melanjutkan langkahku lagi melihat sawah-sawah yang hijau sembari mendengar syair burung-burung di atas mushola tempatku mengaji dulu. Aku lalu menepi dan duduk di serambi mushola sambil menghela nafas sejenak. Temanku bercerita dengan nada terengah-engah, "kita dulu mengenal Tuhan disini, di tempat yang kita duduki sekarang". Aku ingat ketika Kyai Amar dulu pernah dawuh, "jika kalian kembali ke desa ini sempatkan pergi ke samping mushola dan  pastikan makamku ada disana". Aku tersentak saat mendengarnya. Sekejap kami berdua langsung menuju ke samping mushola dan melihat makam tanpa nisan berbaring di sana dengan tanda bata merah yang ditumbuhi lumut hijau. Batin ku mulai teraduk oleh rasa bersalah dan rasa senang.


Akankah hal itu yang membuat kakiku pergi ke tempat ini lagi. Karena kyai merindukanku karena aku semakin jauh dari Rob-ku, aku mulai jarang  sholat dan setiap hari aku melakukan maksiat. Dan inilah jawaban dari langkahku. Allah membuka hatiku dengan kekuatan doa kyai. Mataku mulai berlinang air mata dan kita  berdua bertatapan cukup lama. Lama, hingga seorang perempuan paruh baya menepuk pundakku dari belakang. Siapakah dia?


Penulis : Arisel


 

Komentar