![]() |
Ilustrasi gambar mushola(foto:MCPNU/Arisel) |
Aku datang lagi di desa tua ini saat pohon-pohon pinggir jalan yang
dulu aku lewati ketika berangkat sekolah telah menguning dan berguguran. Langkahku ini bukan kesekian kalinya ataupun kedua kalinya setelah aku pergi.
Langkahku yang tak pasti yang membawaku kembali. Tak jauh dari guguran daun
itu aku melihat bangunan biru muda yang sudah terbengkalai tak ada muridnya.
Ya.. Sekolah Dasar yang pernah menjadi tempat belajar dan bermainku dulu, kini
sudah sepi bahkan mati. Karena masyarakat
desa ini sudah turun ke bawah, mencari tempat yang lebih ramai dari desa di
lereng gunung ini, termasuk aku.
Aku melanjutkan langkahku lagi melihat sawah-sawah yang hijau sembari mendengar syair burung-burung di atas mushola tempatku mengaji
dulu. Aku lalu menepi dan duduk di serambi mushola sambil menghela nafas
sejenak. Temanku bercerita dengan nada terengah-engah, "kita dulu mengenal
Tuhan disini, di tempat yang kita duduki sekarang". Aku ingat ketika Kyai Amar dulu
pernah dawuh, "jika kalian kembali ke desa ini sempatkan pergi ke samping mushola
dan pastikan makamku ada disana". Aku
tersentak saat mendengarnya. Sekejap kami berdua langsung menuju ke samping
mushola dan melihat makam tanpa nisan berbaring di sana dengan tanda bata merah
yang ditumbuhi lumut hijau. Batin ku
mulai teraduk oleh rasa bersalah dan rasa senang.
Akankah hal itu yang membuat kakiku pergi ke tempat ini
lagi. Karena kyai merindukanku karena aku semakin jauh dari Rob-ku, aku
mulai jarang sholat dan setiap hari aku
melakukan maksiat. Dan inilah jawaban dari langkahku. Allah membuka hatiku
dengan kekuatan doa kyai. Mataku mulai berlinang air mata dan kita berdua bertatapan cukup lama. Lama, hingga
seorang perempuan paruh baya menepuk pundakku dari belakang. Siapakah dia?
Penulis : Arisel
0 Komentar