ENGKAU TEMPAT KEMBALI
oleh: kp154
Seperti toilet yang aku menyempatkan datang setengah jam lalu, disebuah terminal kota. Warnya Coklat cenderung hitam. Yang seharusnya putih. Lumut, licin. Yang seharusnya ada hiasan hiu dirangkaian ubin itu. Tenggelam di kedalaman lumut. Coro. Alias kecoa. Menjadi penghuni tetap. Membuat para pendatang menjerit histeris. Melompat. Mengumpat. Daun pintu yang membuat banyak fentilasi. Besar dan kecil. Angin dimana-mana. Gayung. Tidak bedanya dengan lantai. Hitam berlumut. Warna merah jambu yang menghitam. Sialan. Busuk. Pewangi yang dipasang di ruang kecil ini pun tak mampu. Membendung aroma busuk yang lebih mendominasi. Toilet itu tak lebih indah dari bilik kakus belakang rumahku.
"Ah, aku pulang saja. Sampai dirumah nanti aku habiskan semua sakit ini. Sialan" umpatku tak selera untuk duduk di toilet itu.
Aku sejenak teringat mitos tua. Untuk mengantongi batu, agar rasa sakit ini tak memerintahkan keluar - segera - mie ayam yang baru aku lahap tadi. Masih anget. Diperutku. Juice alpukat yang masih terasa sejuk. Ditenggorokkanku.
"Ah apes"
Tas ku menyentuh lantai. Menciptakan noda. Cukup bau. Bahkan sangat bau.
"Mimpi apa, aku. Ingin buang air saja seperti ini"
Langkahku ku percepat, sambil menyambar tasku yang terjatuh agar tidak berlama-lama dibawah.
Langkahku ku percepat, sambil menyambar tasku yang terjatuh agar tidak berlama-lama dibawah.
"Nah, ini batu kerikilnya"
Aku mendapati batu kerikil. Bergegas aku menjemputnya. Dan memasukkannya ke dalam saku celanaku. Aku masih saja percaya, mitos batu kerikil untuk menahan buang air.
Sekalinya memasukkan aku menghitung. Kiranya, aku akan menahannya dalam perjalanan kurang lebih 30 menit. Termasuk aku mengamati, naik apa aku pulang. Bus. Angkot. Ojek. Semua pilihan ada. Dengan segala perhitunganku.
Ojek, seperti menaiki travel menuju bandara dari rumahku. Tukangnya pasti akan meminta hampir 70 ribu. Ah tidaklah!. Angkot, tidak jauh beda dengan ojek. Belum lagi panas dan baunya yang semrawut. Tempat duduk yang lubang. Jendela yang menyanyikan suara senada. DreekKkKkkk!. Tidak!. Bus, rasanya akan jebol pertahananku. Mengingat ia akan berhenti di beberapa titik. Ngetem, istilahnya. Satu kali ngetem hampir bisa dipastikan lebih dari 30 menit. Bisa keluar dijalan racikan mie ayam dan juice alpukat ku. Ah tidak!
Namun, aku harus memilih. Ojek!. Yah, ojek setidaknya aku akan menyegerakan semua ini setibanya aku dirumah.
"Kang, ojek ke Desa Sukasari. Berapa?" Tanyaku pada seorang yang wajahnya aku taksir berumur 50-an tahun. Nampak kusut, seperti teman lainnya. Apa iya dia belum mendapatkan penumpang seharian ini? Tanyaku dalam hati.
"Sukasari? 70 mas" jawabnya mantab.
Benar!. Sesuai dengan perhitunganku. Namun aku butuh cepat. Aku mencoba menawarkan harga dibawahnya.
"40 kang" tawaranku.
"Wah jauh mas, biasanya segitu" jawab seorang lainnya seperti membantu. Atau mungkin agar mendapatkan komisi. Ngopi?.
"Sudahlah, 60 saja mas. Tak anterin!" Umpat cepat seorang yang aku tuju tersebut.
"Baiklah. Ayo!"
Aku pun mengiyakan, seperti tidak tega. Seperti iba. Melihat wajahnya.
Aku pun mengiyakan, seperti tidak tega. Seperti iba. Melihat wajahnya.
25 menit berlalu wajahku cukup sumringah. Aku mataku mendekati pohon mangga kembar, sebagai simbol rumahku. Karena sekampung, rasanya hanya disini ada pohon mangga. Aku seperti lega. Terasa sebentar akan terbuka seluruh pintu tubuhku. Kakus, menjadi bayangan awalku.
Aku sebenarnya bisa, meminta berhenti di SPBU untuk sekedar menumpang duduk berkhayal. Namun, aku enggan. Aku butuh ketenangan dalam kondisi seperti itu. Dan aku rasa satu-satunya tempat buang hajat yang nyaman - untukku - adalah kakus di belakang rumahku. Untuk membuang kejengkelan ku masuk Toilet terminal tadi.
"Stop, kang. Ini. Terimakasih"
Aku memantapkan senyumku untuk ikhlas, dengan merogoh kantong celanaku, mencari uang 60 ribu untuk membayar ojek.
Aku memantapkan senyumku untuk ikhlas, dengan merogoh kantong celanaku, mencari uang 60 ribu untuk membayar ojek.
Sepi! Menyambut kepulanganku. Nasib. Seorang diri. Perantau, yang tak kunjung ke pelaminan. Aku!. Sekian tahun, aku lulus dari SLTA, meninggalkan desaku. Mengikuti jejak tetanggaku diperantauan Kota. Mencari rupiah. Menahan panas. Menahan dingin. Sendiri. Masak, nyuci, bersih-bersih. Sendiri. Aku seorang diri.
Aku seperti tak peduli masuk rumah. Seluruh barang bawaanku, aku tinggalkan di bangku berdebu tak bertuan bertaun-taun di teras rumah. ia masih gagah, menahan rayap, menahan lembab, sekian tahun, tempat aku menikmati angin segar desaku, mendengarkan musik, mengangkat kaki, menyeduh kopi, menikmati rokok di tengah-tengah jemari. Begitulah.
Aku menuju kakus. Berukuran 1 x 1 meter. Penuh sesak dedaunan kering. Payah aku menyingkirkan terlebih dahulu. Menjamin kenyamanan. Didalamnya.
"Oke, bersih!"
matahari mulai melewati pepohonan barat bilik ini. Pertanda bulan akan menggantikan. Aku bergegas. Masuk dan duduk. Ku pantik korek kecil di sakuku. Mengeluarkan sebatang racikan berasap. Menghirupnya dibarengi dengan aroma yang tidak bisa aku menolak.
Aku memenangkan pikir untuk membuat rileks. Menghela nafas. Menghempas sakit. Yang sedari tadi aku tahan. "AaaaAAaaAHhhhHhhHh....huffft" aku seperti menyayangkan mie ayamku, sejam lalu. Malah semakin teringat, segala makanan yang telah terbuang di bilik ini. Bagus aku tidak berak di WC tadi.
Aku mendaratkan benar dudukku. Khidmat. Seiring rokokku yang mengiringi lega. Benciku kembali menguat, mengingat, mengimajinasikan kembali, toilet yang tiada indah sedikitpun. Tukang ojek, yang tidak peka terhadap sakitku. Ia lewatkan aku dijalan yang berlubang. Kanan. Bahkan kiri. Bahkan tengah. Kecil. Bahkan besar. Dangkal. Bahkan dalam. Tidak hanya satu.
Sekarang lepaslah kalian semua. Aku menyadari, mie ayam, juice alpukat, rangginang, tempe, air mineral, kopi. Hanyalah bersinggah. Sejenak. Memberikan motivasi. Bertenaga. Untuk bekerja. Dan kalian akan kembali jua. Kakus. Tempatmu.
Tak peduli kau dimakan di tempat mewah, atau di sawah. Di restoran atau di warung bertutur koran. Di rumah makan atau di emperan.
Rokokku mati. Habis ditelan lamunanku. Yang lupa angin. Aku masih nyaman. Khidmat. Dalam duduk ini. Seperti ada kelambu menutupi. Gelap yang aku terlupa.
"Jam berapa sekarang?" Aku bertanya pada diri sendiri dengan jengkel membuang puntung rokok.
"Kira-kira jam 5 sore. Aku jawab sekenaku. Sudah hampir 1.5 jam aku ternyata aku duduk disini" aku menjawab dengan tetap tidak beranjak dari dudukku. Aku kembali memantikkan api di sebatang rokokku. Malangnya, aku harus meremas bungkus rokok ini dengan jengkel. "Selamat jalan 20 ribu, kau hanya akan menjadi abu" umpatku.
0 Komentar