Kacamata NU, Lihat Peran Pelajar dalam Adab dan Peradaban!

Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut Civilization. Istilah peradaban sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Sedangkan adab berarti akhlak atau kesopanan, dan kehalusan budi pekerti. Sehingga manusia yang memiliki akhlak mulia dan kesopanan serta kehalusan budi pekerti disebut manusia beradab, sedangkan sebaliknya disebut manusia biadab.

Pada umumnya, manusia adalah makhluk yang beradab sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi, namun beberapa faktor menyebabkan adanya manusia biadap pula. Manusia dikaruniai akal lalu dituntut untuk berfikir menciptakan sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu, melalui jasmaninya manusia dituntut melakukan sesuatu yang sesuai dengan fungsinya dan tidak bertentangandengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya, melalui rohaninya manusia dituntut yntuk senantiasa dapat mengolah rohaninya yaitu dengan cara beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Oleh karena itu, norma menjadi suatu hal yang penting untuk dapat dijadikan sebagai tolak ukur manusia yang beradab.

Lantas, apa peran kita mengenai adab dan peradaban dalam kalangan pelajar NU? Ya, pada masa sekarang, istilah kebudayaan dan peradaban tidak mempunyai perbedaan. Hal ini merupakan sebuah keyakinan yang mendasar bahwa visi manusia hidup adalah untuk membentuk peradaban, membuat dunia menjadi lebih baik, menjadi seorang pemimpin. Maka sebaiknya, kita turut bergerak lincah sedemikian rupa untuk menjadikan alam beserta isinya sebagai objek gerak-gerik dalam membangun peradaban. Karena, untuk membangun dan merubahnya perlu punya wujud, tahapan dan dapat berevolusi sesuai dengan pembangunan zaman. Sebab, terpengaruh oleh modernisasi yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya, pentingnya kita memahami adab. Bahkan hal ini merupakan kunci yang banyak dibahas para cendekiawan dan ulama’ dari dulu hingga sekarang, dari Maroko hingga Merauke. Bagi bangsa Indonesia khususnya pelajar, istilah adab bukan hal yang asing karena sudah digunakan dalam sila kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Selain itu, akan kita jumpai dalam Pancasila istilah yang hanya dimengerti dengan menggunakan pandangan dan pemikiran Islma seperti hikmah, adil, rakyat, daulat, wakil, dan musyawarah. Oleh karena kata adab berasal dari istilah Islam yang Islami, maka sebenarnya apa yang tertulis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tentang makna adab masih kurang dan perlu disempurnakan dengan mengembalikan makna aslinya. Sebuah sabda Nabi SAW yang dirawikan oleh Ibnu Majah “Akrimu auladakum wa ahsinu adabahum”, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. Diperkuat oleh hadits lain, sabda Nabi SAW yang dirawikan Imam Ahmad “Li’an yu’addiba ar-rajulu waladahu Khairun lahu min anyatashaddaq kulla yaum nihfi sha’, jika seseorang dapat menjadikkan anaknya beradab, maka itu lebih baik baginya daripada setiap hari bersedekah setengah sha’.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU) organisasi Islam terbesar di dunia, menulis sebuah buku, “Adabul ‘alim wal Muta’allim” terjemahnya “Adab Guru dan Murid”. Ulama’ Besar itu banyak berbicara tentang pentingnya adab, diantaranya berkaitan dengan maslah adab ini sebagian ulama’ lain menjelaskan konsekuensi dari pertanyaan tauhid ynag telah  diikrarkan seseorang adalah mengharuskan beriman kepada Allah—dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikitpun keraguan. Karena, apabila ia tidak memiliki ilmu itu tauhidnya tidak sah. Demikian pula keimana, jika tidak dibarengi dengan pengalaman syariat Islam dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengalaman syariat, apabila ia mengamalkan tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.

Beliau melajutkan kembali, kiranya tidak perlu diragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apapun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT sebagai amal kebaikan, baik yang menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupul fi’liyah (perbuatan).

Terkadang, saya spontan menggelengkan kepala sambil mengelus dada dan bibir mulai umik-umik. Ketika itu melihat beberapa temanku yang kadang menanggapi nasihat Bapak/Ibu Guru saat di sekolah. Entah laki-laki maupun perempuan bagi saya sama saja, tak ada bedanya dari segi munculnya sifat kurang sopan di hadapan beliau yang terhormat. Dimana kesadaran? Menunggu sampai titik habis kesabaran? Memang saya sendiri pun juga pernah melakukan hal yang sama, namun seiring banyak pengalaman organisasi untuk diambil beberapa nilai positifnya makin berubah pula tindakan saya, tentang bagaimana di depan yang lebih tua atau lebih dihormati. Kini, saya adalah pelajar SMP yang sudah berkancah dalam ranah Nahdlatul Ulama’ melalui salah satu banomnya yakni Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’. Dari itu, rekan-rekanita yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dari saya, dengan niat untuk belajar saya pun berangkat dengan semangat memakai kacamata berlensa tajam utamanya untuk memandang, memahami, dan mengamalkan pentingnya adab dari diri sendiri terhadap orang lain, siapapun itu. Dan dalam rangka menghadapi peradaban khususnya untuk NKRI tercinta.

Adanya peradaban yang baik, maka butuh adab yang baik pula dalam proses meraihnya. Kesempatan paling dekat untuk belajar adab adalah belajar kepada pengasuh setia kita, yakni orang tua. Seandainya ternyata kita merasa orangtua masih kurang berpengalaman dalam hal adab, maka tak ada salahnya jika kita mengingat orangtua yang kedua. Sebagai pelajar yang tanggap, insyaa’Allah mampu mengkritisi mana Guru yang patut untuk ditanyai soal adab untuk kita. Sehingga dapat melewati peradaban yang baik semampu kita.
Maka, peran kita sebagai pelajar utamanya di bawah naungan bendera NU mari makin maju dan terus maju untuk belajar, berjuang, dan bertaqwa bersama niat lillahi ta’ala, untuk melangkah meluruskan suatu keadaan yang masih melenceng-melencong. Dengan perlahan mengajak memasuki pintu tholabul ‘ilmi khususnya dalam bidang adab dan peradaban. Belajar bersama para guru/orangtua, ustadz/ustadzah, kyai, serta ulama’



(Nadia Nafissira Bawaqih)



Komentar