Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut Civilization. Istilah peradaban sering
dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan
kebudayaan. Sedangkan adab berarti akhlak atau kesopanan, dan kehalusan budi
pekerti. Sehingga manusia yang memiliki akhlak mulia dan kesopanan serta
kehalusan budi pekerti disebut manusia beradab, sedangkan sebaliknya disebut
manusia biadab.
Pada umumnya, manusia adalah makhluk yang beradab
sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi,
namun beberapa faktor menyebabkan adanya manusia biadap pula. Manusia
dikaruniai akal lalu dituntut untuk berfikir menciptakan sesuatu yang berguna
bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu, melalui jasmaninya manusia
dituntut melakukan sesuatu yang sesuai dengan fungsinya dan tidak
bertentangandengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya, melalui
rohaninya manusia dituntut yntuk senantiasa dapat mengolah rohaninya yaitu
dengan cara beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Oleh
karena itu, norma menjadi suatu hal yang penting untuk dapat dijadikan sebagai
tolak ukur manusia yang beradab.
Lantas, apa peran kita mengenai adab dan peradaban
dalam kalangan pelajar NU? Ya, pada masa sekarang, istilah kebudayaan dan
peradaban tidak mempunyai perbedaan. Hal ini merupakan sebuah keyakinan yang
mendasar bahwa visi manusia hidup adalah untuk membentuk peradaban, membuat
dunia menjadi lebih baik, menjadi seorang pemimpin. Maka sebaiknya, kita turut
bergerak lincah sedemikian rupa untuk menjadikan alam beserta isinya sebagai
objek gerak-gerik dalam membangun peradaban. Karena, untuk membangun dan
merubahnya perlu punya wujud, tahapan dan dapat berevolusi sesuai dengan
pembangunan zaman. Sebab, terpengaruh oleh modernisasi yang terjadi di
masyarakat.
Selanjutnya, pentingnya kita memahami adab. Bahkan
hal ini merupakan kunci yang banyak dibahas para cendekiawan dan ulama’ dari
dulu hingga sekarang, dari Maroko hingga Merauke. Bagi bangsa Indonesia
khususnya pelajar, istilah adab bukan hal yang asing karena sudah digunakan
dalam sila kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Selain
itu, akan kita jumpai dalam Pancasila istilah yang hanya dimengerti dengan
menggunakan pandangan dan pemikiran Islma seperti hikmah, adil, rakyat, daulat,
wakil, dan musyawarah. Oleh karena kata adab berasal dari istilah Islam yang
Islami, maka sebenarnya apa yang tertulis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
tentang makna adab masih kurang dan perlu disempurnakan dengan mengembalikan
makna aslinya. Sebuah sabda Nabi SAW yang dirawikan oleh Ibnu Majah “Akrimu
auladakum wa ahsinu adabahum”, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka. Diperkuat oleh hadits lain, sabda Nabi SAW yang dirawikan Imam Ahmad
“Li’an yu’addiba ar-rajulu waladahu Khairun lahu min anyatashaddaq kulla yaum
nihfi sha’, jika seseorang dapat menjadikkan anaknya beradab, maka itu lebih
baik baginya daripada setiap hari bersedekah setengah sha’.
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul
Ulama’ (NU) organisasi Islam terbesar di dunia, menulis sebuah buku, “Adabul
‘alim wal Muta’allim” terjemahnya “Adab Guru dan Murid”. Ulama’ Besar itu
banyak berbicara tentang pentingnya adab, diantaranya berkaitan dengan maslah
adab ini sebagian ulama’ lain menjelaskan konsekuensi dari pertanyaan tauhid
ynag telah diikrarkan seseorang adalah
mengharuskan beriman kepada Allah—dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa
sedikitpun keraguan. Karena, apabila ia tidak memiliki ilmu itu tauhidnya tidak
sah. Demikian pula keimana, jika tidak dibarengi dengan pengalaman syariat
Islam dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang
benar. Begitupun dengan pengalaman syariat, apabila ia mengamalkan tanpa
dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat dan belum
dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.
Beliau melajutkan kembali, kiranya tidak perlu
diragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam.
Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apapun amal ibadah yang
dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT sebagai amal
kebaikan, baik yang menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan),
qauliyah (ucapan), maupul fi’liyah (perbuatan).
Terkadang, saya spontan menggelengkan kepala sambil
mengelus dada dan bibir mulai umik-umik. Ketika itu melihat beberapa temanku
yang kadang menanggapi nasihat Bapak/Ibu Guru saat di sekolah. Entah laki-laki
maupun perempuan bagi saya sama saja, tak ada bedanya dari segi munculnya sifat
kurang sopan di hadapan beliau yang terhormat. Dimana kesadaran? Menunggu
sampai titik habis kesabaran? Memang saya sendiri pun juga pernah melakukan hal
yang sama, namun seiring banyak pengalaman organisasi untuk diambil beberapa
nilai positifnya makin berubah pula tindakan saya, tentang bagaimana di depan
yang lebih tua atau lebih dihormati. Kini, saya adalah pelajar SMP yang sudah
berkancah dalam ranah Nahdlatul Ulama’ melalui salah satu banomnya yakni Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’. Dari itu, rekan-rekanita yang tingkat pendidikannya
lebih tinggi dari saya, dengan niat untuk belajar saya pun berangkat dengan
semangat memakai kacamata berlensa tajam utamanya untuk memandang, memahami,
dan mengamalkan pentingnya adab dari diri sendiri terhadap orang lain, siapapun
itu. Dan dalam rangka menghadapi peradaban khususnya untuk NKRI tercinta.
Adanya peradaban yang baik, maka butuh adab yang
baik pula dalam proses meraihnya. Kesempatan paling dekat untuk belajar adab
adalah belajar kepada pengasuh setia kita, yakni orang tua. Seandainya ternyata
kita merasa orangtua masih kurang berpengalaman dalam hal adab, maka tak ada
salahnya jika kita mengingat orangtua yang kedua. Sebagai pelajar yang tanggap,
insyaa’Allah mampu mengkritisi mana Guru yang patut untuk ditanyai soal adab
untuk kita. Sehingga dapat melewati peradaban yang baik semampu kita.
Maka, peran kita sebagai pelajar utamanya di
bawah naungan bendera NU mari makin maju dan terus maju untuk belajar,
berjuang, dan bertaqwa bersama niat lillahi ta’ala, untuk melangkah meluruskan
suatu keadaan yang masih melenceng-melencong. Dengan perlahan mengajak memasuki
pintu tholabul ‘ilmi khususnya dalam bidang adab dan peradaban. Belajar bersama
para guru/orangtua, ustadz/ustadzah, kyai, serta ulama’
(Nadia Nafissira Bawaqih)
0 Komentar