IPNU DAN STIGMA POLITIK PERIODE PENDIRIAN


Menelisik perjalanan IPNU, tak bisa dilepaskan dari organisasi induknya, yakni Nahdlatul Ulama. Pada bulan November 1943, NU turut membidani lahirnya Masyumi yang merupakan “perserikatan organisasi” dari beberapa ormas islam di Nusantara. Pun juga pada tahun 1949 ketika Masyumi bermetamorfosis menjadi partai politik, NU sangat berperan besar didalamnnya “akibat ajakan” pemerintah yang akan menerapkan pemerintahan demokratis multi-partai. Namun, andil NU yang begitu besar dalam mendirikan Masyumi tak diimbangi dengan keberperananya dalam organisasi tersebut akibat dari termarginalkannya posisi kader NU dalam organisasi tersebut. Buktinya, tidak satupun anggota NU yang menempati jabatan eksekutif sebagai penentu kebijakan strategis organisasi ini. Bahkan, KH Masjkur dan dua orang kader NU lainnya hanya duduk sebagai kepala urusan Hizbullah dan Sabilillah. Posisi para elit NU yang “terpinggirkan” terlihat jelas manakala KH Hasyim Asy’ari menjabat sebagai President Badan Musyawarah (Majlis Syuro) Masyumi, KH Wahid Hasyim sebagai wakil presiden dan KH Wahab Hasbullah sebagai anggota. Padahal, faktanya posisi Majlis Syuro tidak menentukan dalam kepengurusan Masyumi. Puncaknya seteleh dua tahun kepengurusan Masyumi, kedudukan Majlis Syuro diganti –untuk tidak menyebutkan diturunkan- sebagai penasehat yang kedudukan dan kewenangannya tak lagi setara dengan eksekutif. Bahkan, dari 17 anggota ekskutif, hanya dua orang yang mewakili NU.

Melihat kian benderangnya kepengurusan Masyumi yang tak proporsional, berimplikasi munculnya distabilitas internal pengurus. Walhasil, konflik antarfaksipun menyeruak. Puncaknya, terjadi kritik tajam pihak Muhamadiyah yang dilontarkan kepada Kiai Wahid Hasyim mengenai penyelenggaraan transportasi jamaa’ah haji, hingga berakibat Kiai Wahid mengundurkan diri menjadi Menteri Agama.

Merasakan semakin memanasnya antar kubu di internal kepengurusan, maka NU berketetapan untuk keluar dari Masyumi para tanggal 8 April 1952.  Keluarnya NU dari Masyumi tersebut, diperkuat dengan keputusan Muktamar yang diselenggarakan di Palembang kala itu. Beberapa bulan kemudian NU menjelma menjadi partai politik.

Melihat pola ini, banyak yang beranggapan bahwa IPNU yang kelahirannya pada tanggal 24 Februari 1954 merupakan strategi Partai Nahdlatul Ulama (PNU) dalam meraup  suara dari kalangan muda yang dipersiapkan dalam pemenangan pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Selesih satu tahun antara kelahiran IPNU dengan pemilu inilah yang bagi sementara kalangan menyebut bahwa IPNU kelahirannya syarat dengan nuansa politis. Asumsi ini semakin kuat, saat IPNU menyelenggarakan Kongres I pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang yang dihadiri oleh sejumlah elit politik. Misalnya, kehadiran Ir. Soekarno yang selain sebagai Presiden RI juga menjabat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), KH. Dahlan ketua Partai Nahdlatul Ulama (PNU) dan Mbah Wahab Hasbullah (Rois Amm PBNU, yang juga memegang peran sentral dalam PNU).

Menguatnya anggapan negatif ini, terdengar kencang sampai ke telinga Tolchah Mansoer (Malang), selaku penggagas berdirinya IPNU bersama rekan-rekannya, antara lain; Abdul Ghani Farida (Semarang), A.Mustahal (Solo) dan Sufyan Kholil (Yogjakarta). Kala itu Kiai Tolchah Melakukan klarifikasi dengan mangatakan:

“Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik. Tetapi orang tidak tahu pada bagian apa Nahdlatul Ulama itu jang berpolitik. Dalam hal ini perlulah dimengerti hubungan IPNU adalah dengan Ma’arif (bagian pengadjaran) dan IPNU tidak akan berbitjara dalam hal politik. Itu urusan tanfidziyah Nadlatul Ulama. Ya, IPNU adalah anak Nahdlatul Ulama. Jang harus diketahui: IPNU mempunjai hak atas dirinja sepenuh-penuhnja”

Komitmen keterpelajaran ini, sejak berdirinya sampai sekarang tetap dijadikan “hal pokok” bagi kepengurusan IPNU, terutama pengurus harian. Contoh konkrit dalam hal ini, tatkala pada pemilu 1955 PNU menjadi pemenang tiga besar, salah satu pengurus PWNU Jatim, Rekan Tamjid berhasil masuk menjadi anggota DPRD utusan golongan. Sehingga IPNU memberi penawaran untuk tetap menjadi anggota IPNU atau menjadi anggota dewan, maka rekan Tamjid ini lebih memilih menjadi pengurus PW IPNU Jatim. Selain itu, pada tahun 2000 s/d 2003, rekan Abdullah Azwar Anas (Ketua Umum PP IPNU, yang saat ini menjabat sebagai Bupati Banyuwangi) terpilih menjadi Wasekjend PKB pada tahun 2002,  maka secara etika organisasi Rekan Anas mengundurkan diri –untuk tidak menyebut “digulingkan”- dalam posisinya sebagai Ketua Umum PP IPNU kala itu. Serta masih banyak lagi contoh yang lain.

Jadi, bagi para kader ketika menyelenggarakan pelatihan, baik pada jenjeng Makesta, Lakmud, Lakut sampai Latpel ada fasilitator/ narasumber yang menjelaskan bahwa salah satu faktor berdirinya IPNU adalah faktor politik, disamping faktor ideology, sosial dan paedagogi, maka faktor yang disebut pertama di atas tidak benar adanya. Karena secara fakta sejarah, Tolchah Mansoer telah melakukan klarifikasi serta penerapan komitmen keterpelajaran dalam perkembangan perjalannya IPNU selama ini. Selain itu, pasca deklarasi pendirian IPNU melalui muktamar LP Ma’arif, beberapa bulan kemudian tepatnya pada tanggal 30 April s/d 1 Mei 1954 IPNU menyelenggaran Konferensi “Segi Lima”. Kenapa dinamakan segi lima, karena pada saat itu yang turut hadir sebagai kelompok assabiqunal awwalun dari pendirian IPNU adalah dari Jombang, Yogjakarta, Solo,Semarang dan Kediri. Konferensi segi lima ini berhasil melahirkan keputusan yang tak satupun mengandung nilai politis yang antara lain; menjadikan Ahlusunnah wal jamaah sebagai asas organisasi serta menetapkan tujuan organisasi yakni turut andil dalam meninggikan pendidikan dan ajaran islam, mengokohkan ajaran islam sekaligus mengemban risalah dinniyah (penyebarluasan ajaran) dan yang tak kalah penting adalah menghimpun seluruh potensi kader di seluruh Indonesia yang terhimpun dalam tiga kelompok sasaran, yakni pelajar, santri dan mahasiswa.

 W Eka Wahyudi-PW IPNU JATIM

Komentar