Pergeseran Nilai-Nilai Filosofis dari Esensi Kesenian Reyog Ponorogo di Era Modern


Seni merupakan sebuah kebudayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau suatu kelompok masyarakat yang mempunyai nilai-nilai estetika. Khususnya di Daerah Ponorogo sendiri, begitu banyaknya kesenian-kesenian tradisional dari lingkup desa, kecamatan maupun kabupaten yang masih berkembang dan dilestarikan sampai sekarang sebagai wujud menjaga warisan leluhur Kota Ponorogo. salah satunya adalah kesenian Reyog Ponorogo, yang menjadi Icon utama dan terbesar Kota Ponorogo. Kesenian Reyog Ponorogo ini menjadi warisan bangsa Indonesia sekaligus diakui sebagai warisan dunia.
            Dalam sejarah munculnya Kesenian Reyog Ponorogo terdapat dua versi cerita. Pertama, menurut versi Bantarangindalam kisah Prabu Kelono Sewandono yang akan mempersunting Dewi Songgolangit dari Kediri. Sebelum dipersunting, Dewi Songgolangit memberikan syarat-syarat tertentu. Apabila ada seorang pemuda yang sanggup memenuhi syarat tersebut maka Dewi Songgolangit mau dipersunting. Walaupun syarat-syaratnya terkesan tidak masuk akal, karena kesaktian dari Prabu Kelono Sewandono sanggup memenuhi syarat-syaratt tersebut seperti mencari hewan berkepala dua serta membuat kesenian yang baru.
            Versi yang kedua dari Ki Ageng Kutu, dalam kisahnya yang mengatakan bahwa Prabu Brawijaya  V selaku  Raja dari Kerajaan Majapahit yang berkehendak secara semena-mena, sering korup, serta tidak menjalankan kewajibannya. Oleh sebab itu, Ki Ageng Kutu menciptakan Kesenian Reyog untuk mengkritik kepemimpinan Brawijaya V, disimbolkan dengan kepala harimau yang ditundukkan dengan rayuan permaiisurinya yaitu Putri Campa, disimbolkan dengan bulu merak terkembang. Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga, atau sring disebut sebagai Bujang Ganong yang bersifat bijaksana namun buruk rupanya. Dan Ki Ageng Kutu juga mengkritik lemahnya pasukan Majapahit yang disimboolkan sebagai tarian berkuda yaitu penari Jathil (jathilan) sebagai sindiran bahwa pasukan Majapahit tidak memiliki keberanian serta sifat kesatria. Penari Jathil diperankan oleh kaum pria dengan dirias seelok mungkin dan dibiarkan berlenggok gemulai. Versi yang kedua ini kurang populer dimasyarakat dan lebih populer pada versi pertama. Bahkan dibuat suatu film yang kemudian di tayangkan dalam media sosial.
            Awal munculnya kesenian Reyog Ponorogo yang disebabkan oleh problem sosial memiliki nilai-nilai serta makna filosofis yang bermakna bahwa rakyat Ponorogo mempunyai sifat keberanian dalam mengakui sebuah kesalahan dan bertanggung jawab atasnya, serta memiliki sifat keberanian terhadap sebuah kebenaran yang harus dipegang teguh sampai titik darah penghabisan. Seiring berjalannya waktu ketika kekuasaan wengker diruntuhkan oleh pasukan Batara Katong (salah satu putra Brawijaya V) dari kesultanan Demak. Maksud serta nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam kesenian Reyog mulai dikemas ulang dengan menyimbolisasi iring-iringan Prabu Kelono Sewandono dalam mempersunting Dewi Songgolangit, serta melenyapkan kisah kesatria Ki Ageng Kutu dalam perlawanannya terhadap Raja yang berkuasa sewenang-wenang. Dan juga Batara Katong sebagai putra dari Prabu Brawijaya V, maka ia paasti akan menjaga nama baik ayahnya terhadapa hal-hal yang buruk. Di saat pemerintahan Batara Katong (Bupati pertama), nilai-nilai filosofis Reyog diubah menjadi sebuah cerita rakyat/legenda dikarenakan faktor politik.
            Pada masa penjajahan belanda, nilai-nilai filosofis Reyog mulai muncul kembali akibat perlakuan semena-mena terhadap rakyat Nusantara kala itu. Karena menurut belanda kesenian Reyog merupakan sebuah ancaman, maka belanda membuat kebijakan berupa larangan menampilkan pagelaran Reyog ditempat umum, hanya diperbolehkan dalam lingkup rumah ataupun lingkup kecil. Terlebih  lagi pada saat penjajahan jepang, pagelaran Reyog dilarang di tempat-tempat umum maupun dalam lingkup lingkup kecil atau bisa dikatakan dilarang secara mutlak. Seiring berkembangnya waktu tahu 1950, Reyog muncul kembali dan sampai terdengar di kursi pemerintahan. Karena peminat kesenian Reyog sangat banyak dari kalangan masyarakat Ponorogo, dimanfaatkanlah oleh beberapa kelompok untuk kepentingan politik. Seperti PKI melalui Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), PNI melalu Barisan Reyog Nasional (BREN) serta NU melalui Cabang Reyog Agama (CAKRA). Pagelaran Reyog yang seharusnya menjadi budaya bernilai filosofis namun digunakan dalam hal-hal berbau kekuasaan, politik, maupun berkedok agama. Hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu. Sungguh rendahnya nilai Reyog dimata politik, bahkan hanya digunakan sebagai alat dan tidak lebih dari itu. Sekarang, bupati pun menggalakkan pagelaran Reyog di masing-masing Desa. Tidak lain hanya untuk kepentingan kekuasaan, apakah ini yang dimaksud keadilan bagi seluruh rakyat indonesia?. Mungkin kalian bisa menganalisisnya sendiri.
            Mari kita  jaga kesenian Reyog Ponorogo sebagai kebudayaan yang memiliki nilai filosofis yang tinggi serta menjadi pembelajaran dari generasi ke generasi selanjutnya.
Terimakasih.
Sumber : Umar dkk. Reksa Budaya Ponorogo.(Yogyakarta : Mirra Buana Media), 2020
Penulis : Bajingan@Berilmu

Komentar