Masa SMA biasanya menjadi masa bahagia. Penuh dengan kisah-kisah cinta dari teman-temanku yang kian mendengung ditelinga. Penuh dengan warna kehidupan. Kadang senang, sedih, haru, marah, dan halu bergabung menjadi satu rasa. Walau tidak memiliki kisah cinta yang rumit seperti teman-temanku, tapi aku memiliki kisah mencinta yang lumayan membingungkanku.
Namanya
Awan. Laki-laki satu sekolah denganku. Dia sangat polos dan cerdas juga
cekatan. Sering kali dia mendapatkan apresiasi dari guru. Awalnya memang tidak
ada yang ingin berteman dengannya, tapi aku mau. Dimulai dari satu ekskul,
pertemanan kami menjadi sangat dekat dan rasa ini berubah menjadi cinta. Aku
sangat suka menceritakan tentang dia kepada teman-temanku, sampai dia
mengetahui bahwa aku memendam rasa padanya. Dari setiap responnya, aku yakin
dia juga sama denganku, tapi nyatanya tidak. Pertemanan kami menjadi hambar,
dan memang benar cintaku bertepuk sebelah tangan.
Suatu
hari aku sedang membaca buku tentang kisah cinta di kursi taman sekolah. Tempat
itu memang dekat dengan jalan keluar masuknya staf atau siapapun dari luar
sekolah ke dalam atau dari dalam sekolah ke luar. Untuk gadis yang dijauhi
teman-teman dan hanya memiliki satu teman dekat, hal ini adalah hal biasa
untukku. Seperti biasa, siang itu dia tidak makan di kantin dan langsung
berjalan ke arah kelas sambil membawa cemilan. Dari jauh, aku mengamatinya dan
terpesona dengan dirinya. Pertanyaan yang sering muncul kini datang lagi di
benakku. Bagaimana aku bisa menyukai
orang sepolos dia? Kenapa harus dia? Dan yang paling penting adalah, kenapa dia
tidak memiliki rasa yang sama padaku? Sembari memikirkan hal itu, aku masih
saja memandanginya. Pandanganku tak gentar walaupun teman-teman yang lain sudah
mulai berdatangan dari kantin. Seketika, dia berhenti di tengah jalan untuk
memperbaiki tali sepatunya yang terlepas.
Beberapa
saat sebelum teman-teman yang lain berjalan menyeberang jalan, satu mobil hitam
melaju dengan sangat cepat dari arah dalam sekolah menuju luar melewati jalan
itu. Tanpa kusadari aku berteriak memanggil Awan. “Awan, awas ada mobil!” Tidak
sampai lima detik, aku sudah berada di depan Awan dan mendorongnya sampai dia
terbentur pot tanaman yang terbuat dari semen hingga pelipisnya sobek dan
berdarah. Tak sampai dua detik, aku melayang dan merasakan tubuhku seakan-akan
retak dan tercecer sebelum akhirnya aku mendengar bunyi benturan yang sangat
keras dan merasakan sakit pada pelipisku karena membentur sesuatu. Semuanya
menjadi sangat gaduh, aku pusing dalam diam. Samar-samar aku mendengar suara.
“Awan!
Apa kamu tidak apa-apa?”
suara itu jauh, sepertinya di tempat Awan berada. “Aku tidak apa-apa,”
jawabnya. Syukurlah, dia tidak apa-apa.
“Tidak
usah mengkhawatirkanku, bagaimana Lisa? Dia di sana! Kita harus membawanya ke
rumah sakit! Cepat!”
Seketika
aku mendengar suara langkah kaki, lalu semuanya menjadi gelap.
Dalam tidur yang lama aku mendengar banyak
sekali suara. Setiap hari memiliki suara berbeda dan ada juga yang sama. Sampai
suatu hari yang aku tidak tahu itu siang atau malam, aku mendengar sebuah suara
yang mungkin aku kenal.
“Aku
melihatmu duduk di sana, Lisa. Aku melihatmu. Hanya saja, kamu melihat mobil
itu datang, tapi aku tidak. Kamu menolongku dan menggantikan posisiku.
Seharusnya aku yang koma, Lisa. Pelipis kananku hanya sobek, tapi kamu
mengalami hal yang lebih buruk. Ketika semua orang mendatangiku dan
mencemaskanku, aku hanya memikirkan dirimu yang tergeletak lemas di bawah terik
matahari dengan semua darah itu. Aku hanya memikirkanmu. Maaf Lisa, andai saja
belum terlambat bagiku untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu, sungguh aku
minta maaf. Maaf untuk membuatmu begini, maaf untuk mengabaikanmu didepan semua
orang, dan maaf karena aku menghancurkan semuanya. Aku hanya belum memahami
cintai sebaik dirimu, bahwa cinta adalah sebuah pengorbanan.”
Hal
terakhir yang kudengar dan kuingat. Seperti sudah sangat lama, aku kembali
membuka mata dan melihat semuanya. Kini, di ruangan putih ini aku melihat
banyak sekali teman dan guru serta keluargaku yang berkumpul. Entah apa yang
mereka tunggu. Apakah ada pembagian hadiah? Ataukah ada yang ulang tahun hari
ini? aku tidak tahu. Sambil memegang pelipis kananku yang kurasa sobek, aku
melihat ke arah mereka sambil terus mengerjapkan mataku. Mata ini masih
menyesuaikan sinar yang terlalu menyilaukan.
“Lisa,
kamu sudah sadar!” Ibu dan Ayah langsung menciumku.
“Iya
Ibu, Ayah. Aku baik-baik saja.” jawabku.
Kemudian
merekamengatakan kepadaku bahwa dokter takut akan cidera di kepalaku akibat
benturan yang sangat keras dapat membuatku lupa ingataan sebagian. Artinya bisa
saja aku melupakan salah satu bagian dari hidupku atau bahkan salah satu dari
teman-temanku atau guru maupun keluargaku. Maka dari itu, mereka memintaku
untuk menyebutkan nama mereka satu per satu. Tentu saja aku mengingat mereka
semua. Dengan sabar aku menyebutkan semua nama mereka hingga sampailah aku di
orang terakhir.
“Kamu,,,”
sambil memegang kepalaku yang terasa sakit, aku mencoba mengingat dia, tapi aku
tidak menemukannya di dalam ingatanku. “Kamu,, anak baru di sekolah ya?”
tanyaku. Aku tidak mengingatnya sama sekali, aku yakin dia adalah murid baru.
“Aku,,,Awan,
Lisa. Aku Awan,” jawabnya.
Kepalaku
semakin terasa sakit. Aku memeganginya dengan sangat kuat. Rasanya seperti
kepala ini mau meledak. Aku memejamkan mata dan merasa sangat pusing. Dokter
yang mengetahui tentang apa yang terjadi denganku langsung meminta semua yang
ada didalam, untuk meninggalkan ruangan putih itu dan mencoba menenangkanku.
Aku,
seperti pernah mengingatnya. Seperti pernah melihatnya sebelum ini, dia seperti
pernah ada dihidupku. Bekas luka di pelipis kanannya, kenapa sama sepertiku?
Rasa sakit di kepalaini semakin menyiksa. Setiap kali aku mengingatnya, aku
semakin merasa sakit. Siapa sebenarnya dia? dia seperti, pernah ada.
Malam_Komunitas
Rengkuh Literasi
Banjarmasin, 13 Juni 2020
0 Komentar