Foto Nyai. Hj. Umroh Mahfudzoh (foto istimewa: MCPNU/Nadia) |
MCPNU Ponorogo- Setiap tanggal 2 Maret, para pelajar Nahdlatul Ulama khususnya kaum
perempuan memperingati hari lahirnya. Dari peringatan tersebut, tidak terlepas
pada nama yang berperan penting akan lahirnya Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama (IPPNU). Sosok perempuan yang sangat dikenal karena perjuangannya
melahirkan organisasi otonom sayap Nahdlatul Ulama dalam ranah keterpelajaran.
Siapakah beliau? Simak bacaan selanjutnya yang kami beberkan dibawah ini!
Dalam
sejarah panjang Nahdlatul Ulama (NU), ada sepasang suami-istri yang sangat
inspiratif, yaitu Prof. Dr. KH. M. Tholchah Mansoer dan Nyai Hj. Umroh
Mahfudzoh. Keduanya mendirikan dua organisasi pelajar NU yang hingga saat ini
mewarnai perjuangan NU dalam menegakkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah an Nahdliyah di
kalangan pelajar Islam di Indonesia, yaitu Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Pada rubrik sebelumnya
telah kita ulas tentang Kiai Tholchah, dan kali ini penulis akan mengulaskan
tentang sosok Nyai Umroh Mahfudzoh, sebagai pionir gerakan perempuan NU.
Nyai Umroh Mahfudzoh
adalah sekian dari perempuan-perempuan NU yang menginspirasi, serta menjadi
pionir dan pelopor gerakan wanita, khususnya di kalangan umat Islam dan NU. Nyai.
Hj. Umroh Mahfudzoh lahir
pada 4 Februari 1936 M di Kabupaten Gresik. Beliau merupakan anak pertama dari
lima bersaudara, dari pasangan KH. Wahib Wahab (Menteri
Agama ke-7, 1958 – 1962 M) dengan Hj. Siti Channah. Beliau juga merupakan cucu
dari KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri NU dan Rais Aam PBNU,
1946-1971 M).
Sebagai
cucu pendiri NU, masa kecil pendidikan Nyai Umroh banyak
dihabiskan di pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan
di Pesantren Tambak Beras, Jombang, tanah kelahiran
sang ayah. Selain itu, sebagai anak sulung, sejak kecil Nyai Umroh juga dididik
untuk bisa hidup hemat dan mandiri.
Beliau mengawali
pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun
1946 karena clash II, Nyai Umroh
kecil kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah
Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) di Boto Putih, Surabaya. Selesai
menempuh di sana, muncul keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika
diterima sebagai siswa SGA (Sekolah Guru Agama) Surakarta, Jawa Tengah.
Saat
itu, partai-partai politik sedang mengepakkan sayapnya tepatnya pada pertengahan
1950-an, Nyai Umroh mulai
menerjunkan diri. Berkat kecakapannya dalam dunia kepemimpinan, ia pun terpilih
sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi
pelajar yang berafiliasi (berhubungan/bekerja sama) dengan Partai Masyumi,
ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik
sendiri pada tahun 1952, Nyai Umroh kecil mulai berkenalan dengan
organisasi-organisasi underbow di
lingkungan NU.
Kurun
waktu berjalan, geliat Nyai Umroh semakin terlihat. Sembari mengajar di
Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, beliau yang saat itu juga nyantri di Pesantren al-Masyhudiyah
Keprabon, Solo asuhan KH. Masyhud dan Nyai Syuaibah, mulai terlibat aktif di NU
sebagai Wakil Ketua Fatayat NU Cabang Surakarta. Semangat Nyai Umroh yang
menggebu-gebu membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar
yang khusus mewadahi pelajar putra-putri NU.
Memotori
Lahirnya IPPNU
Bagi
para kader IPPNU lintas zaman, Nyai Umroh merupakan sosok wanita inspiratif. Berdirinya
IPNU yang khusus menghimpun pelajar putra pada awal tahun 1954, memang tak
lepas dari perjuanganmya dan kawan-kawan untuk membuat organisasi serupa khusus
untuk para pelajar putri. Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan
para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama belajar
di pesantren asuhan Nyai Masyhud.
Kegigihan
Nyai Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU)
membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ
yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian
organisasi IPPNU.
IPPNU
lahir dari diskusi ringan yang dilakukan oleh beberapa remaja putri yang tengah
menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar
ke-20 NU di Surakarta. Dalam diskusi itu, Nyai Umroh muda dan teman-temannya
merasa perlu adanya organisasi pelajar di kalangan nandliyat. Maka mereka
mengusulkan adanya IPNU untuk pelajar putri.
Kalangan
NU, baik Muslimat, Fatayat NU, GP Ansor dan Banom NU lainnya memutuskan untuk
membentuk tim resolusi IPNU putri pada Kongres I IPNU di Malang Jawa Timur.
Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di kongres
Malang itu dinamakan IPNU putri.
Dalam
suasana kongres, ternyata keberadaan IPNU putri sepertinya masih diperdebatkan
secara alot. Semula direncanakan secara administratif hanya menjadi departemen
di dalam tubuh organisasi IPNU. Hasil negosiasi dengan pengurus PP IPNU, bagi Nyai
Umroh dan kawan-kawan akan menimbulkan semacam kesan eksklusivitas (khusus)
IPNU yang hanya diperuntukkan pelajar putra saja.
Melihat
hasil tersebut maka pada hari kedua kongres, Nyai Umroh muda memotori peserta
putri kongres yang hanya diwakili delegasi dari lima daerah (Yogyakarta, Surakarta,
Malang, Lumajang dan Kediri), kemudian melakukan konsultasi dengan dua jajaran
di pengurus badan otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar, yaitu
PB Ma’arif, yang saat itu dipimpin bapak KH. Syukri Ghazali, dan ketua PP
Muslimat NU saat itu, Nyai Mahmudah Mawardi.
Dari
pembicaraan selama beberapa hari, telah membuat keputusan untuk membentuk
organisasi IPNU Putri secara organisatoris dan administratif terpisah dengan
IPNU. Pada tanggal 2 Maret 1955 M/8 Rajab 1374 H bertempat di Malang dideklarasikan
sebagai hari kelahiran IPNU Putri. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya
pembentukan cabang, ditetapkan, pada Kongres I tersebut Nyai Umroh Mahfudzoh
ditetapkan sebagai Ketua Umum pertama hingga Kongres III di Surabaya pada tahun
1961. Selama beliau berkhidmah, kantor PP IPNU Putri berkedudukan di Surakarta.
Dalam
perjalanannya, Nyai Umroh bersama koleganya mengusulkan perubahan nama dari
IPNU Putri menjadi IPPNU. Kemudian, tak lama kemudian, PB Ma’arif NU menyetujui
perubahan nama itu, sehingga IPNU putri berubah menjadi IPPNU (Ikatan Pelajar
Putri Nahdlatul Ulama).
Disamping
itu, beliau juga tampil sebagai juru kampanye Partai NU pada pemilu 1955. Hanya
dalam kurun waktu satu tahun saja sejak organisasi itu resmi berdiri. Tidak
genap setahun Nyai Umroh menjadi Ketua Dewan Harian IPPNU, beliau meninggalkan
Surakarta untuk menikah dengan M. Tolchah Mansoer, Ketua Umum pertama PP IPNU,
pada tanggal 5 Desember 1957. Beliau pindah ke Yogyakarta mengikuti sang suami.
Dari pernikahannya, Nyai Umroh dikaruniai 7 orang anak, terdiri dari tiga anak putra
dan empat anak putri.
Meskipun
menetap di Yogyakarta, Nyai Umroh tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap
organisasi yang ikut dia lahirkan. Kedudukan Dewan Penasehat PP IPPNU yang
dipegang hingga akhir hayat, membuatnya tidak pernah absen dalam setiap
perhelatan nasional yang diselenggarakan IPPNU.
Riwayat
organisasi Umroh berlanjut pada tahun 1962 sebagai pengurus seksi Sosial PW
Muslimat NU DIY. Kedudukan ini mengantarkan Nyai Umroh sebagai Ketua I Badan
Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta hingga tahun 1987.
Kesibukan
keluarga tidak mengendurkan hasratnya untuk melanjutkan pendidikan ke Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN SuKa), Yogyakarta. Pendidikan S-1
diselesaikan dalam waktu enam tahun sembari aktif sebagai Wakil Ketua Pengurus
Poliklinik PW Muslimat NU DIY. Sementara itu, perhatian di bidang sosial
disalurkan dengan menjabat sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK)
yang membidangi kegiatan-kegiatan di bidang peningkatan kesejahteraan sosial di
wilayah Yogyakarta.
Berdedikasi
Lewat Parpol
Jabatan
Ketua PW Muslimat NU DIY diemban selama dua periode berturut-turut sejak tahun
1975. Kesibukan ini tidak menghalangi aktivitasnya sebagai Seksi Pendidikan
Persahi (Pendidikan Wanita Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dan Gabungan Organisasi
Wanita wilayah Yogyakarta.
Naluri
politik yang tersimpan selama belasan tahun ternyata tidak bisa beliau pendam begitu
saja. Berlanjut aktivitasnya sebagai bendahara DPW PPP mengantarkannya terpilih
sebagai anggota DPRD DIY periode 1982-1987.
Karir
politiknya terus meningkat dari Bendahara, selanjutnya Wakil Ketua, menjadi
Pjs. Ketua DPW PPP DIY. Jabatan terakhir ini membawanya ke Jakarta sebagai anggota
DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan selama dua periode. Selain itu, ia
juga pernah menjabat sebagai Ketua Wanita Persatuan Pusat, organisasi wanita yang
berada di bawah naungan PPP. Sebagai anggota parlemen, Nyai Umroh tercatat
beberapa kali mengadakan kegiatan internasional, di antaranya muhibah ke India,
Hongaria, Perancis, Belanda, dan Jerman.
Domisili
di Jakarta mempermudah beliau dalam meneruskan aktivitasnya di NU
sebagai Ketua Departemen Organisasi PP Muslimat NU, yang kemudian naik menjadi
Ketua III. Sempat menikmati pensiun pasca pemilu 1997, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU mendorong Nyai Umroh terjun kembali
ke dunia politik sebagai salah satu anggota DPR RI hasil pemilu 1999-2004 dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Akhir Hayat
Mengakhiri karir
politiknya di DPR RI pada tahun 2004, Umroh kembali ke kampung halamannya untuk
mengasuh pondok pesantren As-Sunni Darussalam Sleman, DIY yang didirikan
Tolchah Mansoer.
Sesepuh sekaligus
pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ini meninggal dunia pada
Jumat (6/11/2009) pagi sekitar pukul 06.45 WIB di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta. Almarhumah meninggal pada usia 73 tahun dan dimakamkan sekitar
pukul 15.30 WIB di pemakaman dekat kediaman Komplek Pondok Pesantren Sunni
Darussalam, di Dusun Tempelsari, Desa Manguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta.
Membaca dari perjuangan beliau
sebagai pejuang NU perempuan yang hidupnya “diwakafkan” untuk menegakkan syi’ar
Islam Aswaja, memperjuangkan kesejahteraan ibu dan anak, meneguhkan kesetaraan
gender di ruang partisipasi publik, serta menjunjung politik yang bermartabat. Beliau
telah memberi tauladan dengan menjadi istri yang setia, aktivis yang tak kenal
lelah, dan pendidik yang tak pernah berhenti mencari ilmu. Maka, sangat perlu
kita meneruskan kembali perjuangan beliau.
Sebagaimana yang
disampaikan Rekanita Ratu Dian Hatifah (Ketua Umum PP IPPNU 2000-2003), “saya
melihat tak banyak orang yang berkeinginan melibatkan diri dalam kepengurusan
IPPNU. Ia yang telah berkecimpung berarti termasuk orang terpanggil, menunjukkan
ia bahwa miliki jiwa kepemimpinan.”
“Dan karena itulah, saya
bangga dengan kader-kader IPPNU yang mau terlibat dalam kepengurusan dan
menjalankan organisasi yang didirikan Nyai Hj. Umroh Machfudzoh ini. Sehingga
anggota dan kader IPPNU harus berbangga dan bersyukur karena berkah dari
Nahdlatul Ulama menjadikan kita manusia yang berguna”, pungkasnya.
*Dilansir dari berbagai sumber :
nu.or.id
nujateng.com
https://tebuireng.online/nyai-umroh-mahfudzoh-pelopor-lahirnya-ippnu
https://ppsundarjogja.ponpes.id/read/21/sunni-darussalam-pondok-pesantren-peninggalan-nyai-umroh.
Penulis: Nadia Nafissira
Editor: Iput
0 Komentar